Jurnal Hari

Terburu-buru Padahal Tak Dikejar: Mengurai Dorongan untuk Selalu Cepat

Ada masanya aku merasa semua hal dalam hidupku harus serba cepat. Ingin segera sampai ke tujuan, ingin segera membuat pencapaian, ingin semua pekerjaan segera selesai. Tubuh terdorong bergerak cepat, pikiran tidak bisa diam dan mengatakan semua harus selesai sekarang juga — meskipun kenyataannya, tidak ada yang benar-benar darurat. Rasanya melelahkan, seolah terus-menerus dikejar sesuatu, padahal tidak ada yang benar-benar mengejar.

Sensasinya bukan hanya mental: tubuh juga ikut gelisah. Jari tak bisa diam, napas jadi dangkal, dan otak terasa seperti berlari dalam kabut. Aku tahu ini tidak sehat, ini bukan sekadar “tidak sabar”, tapi kondisi internal yang lebih dalam. Terburu-buru membuat aku stres, tidak teliti, dan kadang salah mengambil langkah.

Aku mencoba melakukan refleksi pada kondisi ini dan mulai menggali informasi. Dari sana aku tahu bahwa rasa tergesa ini bukan cuma kebiasaan. Ia adalah kombinasi dari mindset, sistem saraf, dan pola hidup.


Mengapa Kita Merasa Terburu-Buru?

1. Pola Hidup dan Budaya Produktivitas

Jika kita tumbuh di lingkungan yang selalu menekankan “kerja keras, cepat, efisien”, kita mungkin menganggap kecepatan sebagai nilai moral. Efeknya? Bahkan saat tidak ada tekanan nyata, tubuh dan pikiran kita otomatis masuk mode cepat. Seolah jika kita melambat, kita bersalah.

Memiliki banyak hal yang ingin atau harus dilakukan (tercermin dalam to-do list yang panjang) pun semakin menambah tekanan. Otak membaca daftar itu sebagai "beban belum selesai" dan merespons dengan stres mikro — bahkan sebelum kita mulai mengerjakannya. Terlalu banyak keinginan seringkali membuat kita gelisah dalam pertanyaan, apakah ada cukup waktu untuk menyelesaikannya?


2. Kecemasan yang Terselubung

Banyak rasa buru-buru bukan berasal dari luar, tapi dari dalam:

Tubuh merespons ketakutan ini seperti menghadapi ancaman nyata. Sistem saraf simpatis menyala, adrenalin naik, dan kita ingin segera bertindak — padahal tidak ada urgensi nyata.


3. Kepribadian High Achiever dan Perfeksionis

Jika kita cenderung ingin unggul, memberi dampak besar, atau tidak nyaman dengan ketidaksempurnaan, kita akan kesulitan menerima proses yang lambat. Ada dorongan konstan untuk “menyelesaikan lebih banyak”, “menjadi lebih baik”, atau “mengungguli yang lain”.

Ini bisa jadi bermuara pada rasa "aku hanya berharga jika produktif dan cepat" — pola pikir yang berbahaya jika tidak disadari. Disamping itu, ada tendensi kontrol, keinginan untuk memastikan semuanya berjalan sesuai rencana, yang membuat kita merasa harus bergerak cepat agar tetap "mengendalikan" situasi.


4. Faktor Fisiologis dan Paparan Berlebih

Kurang tidur, kebanyakan kafein, atau terlalu sering terpapar informasi bisa membuat otak terus aktif dalam mode siaga tinggi. Tubuh jadi sulit tenang. Detak jantung naik, otot tegang, dan sistem saraf tak pernah betul-betul masuk ke mode istirahat.


5. Mindset: Waktu Kita Terbatas

Jika kita hidup dalam mentalitas kelangkaan waktu, setiap menit terasa harus “dimaksimalkan”. Akibatnya, kita kehilangan toleransi terhadap jeda, kesabaran, dan kehadiran saat ini.

Sering kali ini disertai hyperfocus pada masa depan: kita terus terpaku pada “apa selanjutnya”, sehingga lupa menikmati “apa sekarang”.


Apa Dampaknya?


Lalu, Bagaimana Keluar dari Pola Ini?

1. Sadari Polanya

Setiap kali kita merasa tergesa-gesa, berhenti sejenak. Tanya:

“Apakah ini benar-benar mendesak, atau hanya perasaanku saja?”

Catat pemicu yang sering muncul. Apakah karena jadwal padat? Tekanan dari luar? Atau justru dorongan internal yang tidak realistis?


2. Latih Mindfulness

Pernapasan lambat, meditasi ringan, atau sekadar memberi perhatian penuh pada aktivitas (misalnya saat mencuci tangan atau menyeduh kopi) bisa menjadi latihan sederhana untuk menurunkan kecepatan secara sadar.

Tugas yang dilakukan dengan kesadaran sering kali menghasilkan kualitas lebih tinggi, dibanding tugas yang dikerjakan terburu-buru.


3. Kurangi Stimulasi dan Kebutuhan untuk Selalu Aktif

Batasi kafein, atur ulang notifikasi, kurangi waktu paparan layar (screen time limit), dan beri tubuh waktu untuk benar-benar beristirahat tanpa distraksi. Berjalan pelan, duduk di taman, atau membaca tanpa tujuan bisa menjadi praktik “perlambatan aktif” yang menyehatkan.


4. Ubah Pertanyaan Internal

Dari:

Dan dari:


5. Berikan Izin untuk Pelan

Ini terdengar sepele, tapi sangat penting. Banyak dari kita tak pernah benar-benar memberi izin pada diri sendiri untuk pelan, untuk santai, untuk tidak selalu ‘efisien’. Padahal, justru di ruang-ruang pelan itulah kualitas hidup yang sesungguhnya tumbuh.


Penutup: Kecepatan Bukan Segalanya

“Aku tidak sedang dikejar. Aku hanya terbiasa lari.”

Itu yang aku sadari belakangan ini. Dan aku belajar — dengan perlahan — untuk berhenti, menarik napas, dan mulai lagi… dengan sadar.


Kalau kamu juga merasa seperti sedang hidup di jalur cepat tanpa rem, mungkin inilah waktunya untuk menepi sejenak. Karena hidup bukan tentang siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling hadir saat ini.