Jurnal Hari

Mendaki Gunung: Dari Jejak Pertama Hingga Menjadi Bagian Hidup

Aku masih ingat jelas tahun 2013, semester enam kuliah. Saat itu, untuk pertama kalinya aku menjejakkan kaki ke sebuah gunung. Itu adalah Gunung Prau, bersama tiga orang kawan. Kami berangkat dengan modal nekat dan informasi seadanya. Carrier kupinjam dari om, sepatu hanya kets biasa, celana pendek katun, serta tenda dan alat masak pun hasil sewa.

Kalau dipikir lagi, entah apa yang mendorongku untuk naik gunung waktu itu. Tidak ada alasan rasional. Tidak ada perhitungan matang. Tapi begitu berada di jalur, merasakan udara dingin yang menempel di kulit, melihat luasnya pemandangan, dan mendengar sunyi yang hanya bisa ditemui di alam bebas—ada sesuatu yang tertanam di dalam diriku.

Meski capek, meski repot, meski semua serba terbatas, aku tahu ada bagian dari diriku yang ingin mengulanginya lagi. Seperti ada sesuatu yang tertambat di dalam hati. Setelah itu aku mendaki ke gunung lain di Jawa Tengah, Merbabu, Sumbing dan mengunjungi Prau lagi.


Masa Vakum: Logika dan Realitas Hidup

Namun, perjalanan itu tidak langsung berlanjut. Sejak 2015 hingga 2022 aku break mendaki. Itu adalah masa-masa awal bekerja sekaligus menyelesaikan kuliah S2. Aku sibuk menata hidup, menyesuaikan diri dengan dunia kerja, dan tentu saja: kondisi finansial masih pas-pasan.

Di fase itu, aku melihat mendaki sebagai sesuatu yang “tidak masuk akal.” Rasanya buang tenaga, buang uang, melelahkan, dan pulangnya tidak membawa apa-apa (dalam bentuk materi). Aku terjebak dalam cara berpikir yang sangat utilitarian: semua harus ada hasil nyata. Hiking pun aku pinggirkan.

Di situ aku sadar, ada masa dalam hidup di mana logika bertahan hidup lebih dominan. Hobi yang tidak memberi “hasil” secara kasat mata harus disingkirkan dulu. Dan aku menerima itu.


Kembali ke Jalur: Api yang Tidak Pernah Padam

Lalu tahun 2022, sebuah ajakan datang dari seorang teman di kantor. Kali ini kondisiku sudah berbeda. Pekerjaan lebih stabil, keuangan lebih lega, dan aku sudah punya ruang untuk kembali spending for experience. Aku memutuskan ikut. Kali ini aku bisa membeli pakaian dan sepatu yang lebih proper serta alat masakku sendiri :)

Begitu kembali menapaki jalur gunung, aku sadar: api itu tidak pernah benar-benar padam. Ia hanya tertutup oleh debu keseharian. Ajakan itu seperti meniup kembali bara yang selama ini kusimpan.

Yang berbeda kali ini adalah sudut pandangku. Kalau dulu aku sekadar suka tanpa tahu alasannya, kini aku menemukan makna yang lebih luas. Mendaki bukan sekadar pemandangan indah, tapi juga latihan kesehatan, mental, bahkan skill bertahan hidup. Ada rasionalisasi yang membuatnya terasa lebih utuh.

Dan zaman juga sudah berubah. Informasi pendakian sekarang mudah sekali didapat, gear semakin terjangkau, bahkan tren ini sampai di level nasional yang membuat pendakian terasa lebih normal dan diterima. Video dan cerita orang lain memperkuat rasa rindu itu. Semua jadi lebih dekat dan lebih mungkin.


Dari Hobi Menjadi Gaya Hidup

Sekarang, aku tidak lagi melihat hiking sebagai sekadar aktivitas insidental. Aku ingin menjadikannya ritual hidup yang sederhana tapi konsisten. Tidak harus selalu ekspedisi panjang—cukup tektok singkat atau camping ringan untuk mengobati kerinduan berada di alam bebas.

Belakangan aku coba lihat kembali alasan mengapa aku terus melakukannya meski repot dan melelahkan. Setiap pendakian = mengatasi ketidaknyamanan. Ini membuatku mendapatkan sense of mastery, memberi validasi diri tanpa harus ada kompetisi dengan orang lain. Selain itu berada di alam, tanpa distraksi, membuat pikiranku bisa tenang dan fokus. Efek kontemplasi ini jarang didapat di keseharian masyarakat modern.

Ada alasan lain yang personal: sejak menikah aku selalu mendaki bersama istri. Itu membuatku harus menyesuaikan ritme, menerima keterbatasan bersama, dan menikmati perjalanan dengan cara yang berbeda. Bagi kami, mendaki bukan hanya soal mencapai puncak, tapi juga cara menghabiskan waktu berkualitas, belajar sabar, dan mempererat ikatan.

Di setiap pendakian, kami pelan-pelan meningkatkan intensitas dan variasi. Tidak perlu buru-buru. Biar waktu yang membentuk keberanian dan kesiapan. Siapa tahu suatu saat aku bisa naik level, melakukan ekspedisi panjang dan lebih serius. Tapi untuk sekarang, menjaga konsistensi sudah lebih dari cukup.


Impian dan Horizon yang Lebih Luas

Indonesia sendiri adalah surga. Aku ingin lebih dulu menjelajahi gunung-gunung di negeri ini, dari yang populer hingga yang jarang disebut orang. Tidak ada habisnya.

Namun aku juga tidak bisa memungkiri ada bucket list yang ingin aku kunjungi. Nepal, tentu saja, "Mekah"-nya para pendaki di seluruh dunia. Swiss, dengan jalur trekking yang rapi dan panorama yang nyaris tak masuk akal indahnya—itu selalu membuatku merinding hanya dengan membayangkannya. Lalu New Zealand dan Amerika dengan national parks mereka yang luar biasa, serta Jepang dengan kedisiplinan dan budaya hiking yang unik.

Aku tahu impian ini bukan tentang menaklukkan puncak tertinggi atau jalur paling ekstrem. Aku lebih suka trek panjang—perjalanan yang penuh kontemplasi, melebur dengan alam dan budaya setempat. Bagiku, inti dari hiking bukan “penaklukan,” tapi “perjalanan.”


Dari Hobi ke Legacy

Kini aku mulai menyadari: hiking bukan lagi hobi sementara. Ia sudah menjadi bagian dari identitas dan cara hidupku. Aku ingin membawanya terus, apa pun fase hidup yang akan datang. Bahkan jika nanti waktu terbatas atau kondisi berubah, aku percaya hiking bisa selalu di-scale sesuai keadaan: singkat, panjang, ringan, berat—yang penting tetap ada.

Lebih dari itu, aku ingin menjadikannya legacy. Aku ingin anak-anakku kelak tumbuh dengan alam sebagai rumah kedua. Aku ingin mereka mengingat aroma tanah basah, udara dingin di pagi hari, cahaya matahari yang terbit di balik punggung gunung, dan perjalanan kaki yang kadang melelahkan tapi selalu bernilai.

Mungkin inilah arti sebenarnya dari mendaki bagiku: bukan sekadar naik, bukan sekadar pulang dengan foto puncak. Tapi sebuah cara hidup yang menyeimbangkan tubuh, pikiran, dan jiwa—dan semoga bisa diwariskan sebagai jejak positif untuk generasi setelahku.