Jurnal Hari

Jalan-jalan Event Green Footprints

Pekan lalu saya mengikuti acara berjudul Green Footprints. Acara ini diadakan di kompleks Candi Prambanan dan Kraton Ratu Boko. Istri saya mendapatkan informasi tentang acara ini dari Instagram. Melihat biaya pendaftaran hanya 25 ribu rupiah, sudah termasuk tiket masuk dan makan siang, menurut saya ini tawaran yang menarik.

Awalnya, saya pikir ini akan menjadi acara jalan kaki biasa, mungkin dengan fokus pada kebugaran atau kesehatan. Ternyata, ini bukan sekadar acara jalan kaki biasa—tapi di sepanjang acara kami mendapatkan pengalaman edukatif tentang perubahan iklim. Penyelenggara acara ini adalah The Climate Reality Project Indonesia.

Jalan-jalan sambil belajar

Hampir 100 orang dari berbagai latar belakang dan generasi berkumpul sejak pagi hari. Kami dibagi menjadi kelompok-kelompok yang terdiri dari sepuluh orang, masing-masing dipandu oleh seorang fasilitator dan seorang pemandu. Nama pemandu kami adalah Pak Miko. Sepanjang perjalanan, kami tidak hanya menjelajahi keindahan sekitar; kami juga belajar tentang bagaimana situs warisan budaya ini menerapkan praktik pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.

Salah satu hal yang menarik adalah pentingnya pohon-pohon yang ditanam di area tersebut. Ada beragam jenis pohon yang ditanam di area yang sangat luas. Penanaman pohon ini bukan tanpa alasan, pohon bambu di pagar menghadap jalan raya misalnya, itu berfungsi untuk mengurangi polusi udara dan suara. Contoh lain seperti pohon Kepel dan Gayam ditanam di gapura masuk candi karena memiliki nilai filosofis dan melekat dengan budaya Jawa di masa lalu yang lekat dengan latar belakang agama Hindu. Kedua pohon tersebut dianggap sebagai tempat turunnya wahyu. Begitu banyaknya pepohonan juga membuat beberapa jenis fauna seperti burung terlihat betah berada di area ini.

Selain itu, kami diperkenalkan pada praktik pengolahan limbah di wilayah taman wisata candi Daun-daun yang gugur diolah menjadi kompos organik, dengan produksi bulanan mencapai hingga 250 kilogram. Sampah organik lainnya dibiarkan terurai di tanah, sehingga biji-bijian yang jatuh di atasnya bisa tumbuh. Ini adalah gambaran bagaimana alam merawat dirinya sendiri. Di sisi fasilitas pendukung, pengelola menyediakan fasilitas kendaraan listrik untuk pengunjung dapat menikmati berkeliling area candi.

Kami juga belajar tentang kearifan lokal para leluhur dalam mendesain ruang hidup. Candi-candi sebagai tempat ibadah dibangun dekat dengan sungai, dalam hal ini pertemuan sungai Opak dan Ampo. Itu didasari pemahaman bahwa air adalah sumber kehidupan. Bukan hanya untuk konsumsi, tetapi juga sebagai sarana transportasi dan sumber daya lainnya.

Keahlian teknik pada zaman itu juga saya pikir luar biasa maju—dari menggunakan obor untuk mengukur kekuatan angin, hingga memeriksa kegemburan tanah untuk keperluan struktur bangunan. Candi sendiri dibangun dengan sistem penguncian antar batu atau disebut interlocking, tanpa bahan perekat seperti semen. Arah hadap candi yang menghadap timur pun menunjukkan hubungan mereka dengan alam, agar dapat menangkap sinar matahari pagi secara maksimal.

Hamemayu Hayuning Bawono

Semua konsep yang kami pelajari cocok dengan tema acara yang berasal dari konsep budaya Jawa: Hamemayu Hayuning Bawana, yang jika kita pahami maknanya menggambarkan kedalaman penghormatan terhadap alam dan kehidupan.

Setelah selesai dari Prambanan, kami makan siang di Kraton Ratu Boko, lalu dilanjutkan dengan diskusi kelompok. Para pimpinan organisasi dan sponsor memberikan sambutan. Ada Ibu Amanda direktur The Climate Reality Project Indonesia. Dari beliau saya tahu tentang organisasi ini, yang didirikan oleh mantan wapres Amerika ke-45, Al Gore, di mana komitmennya adalah memberikan pelatihan pada edukator untuk menyebarkan kesadaran tentang kesadaran iklim. Juga pimpinan dari Tamaris Hydro, sebuah perusahaan yang memproduksi pembangkit listrik mikro hidro dan perwakilan dari PT Taman Wisata Candi.

Setelah itu, kami berkeliling kraton dengan dipandu oleh Mas Yulianto. Meskipun saya sudah beberapa kali mengunjungi tempat ini, ini adalah pertama kalinya saya didampingi oleh seorang pemandu profesional, dan saya mendapatkan banyak informasi baru yang sebelumnya tidak saya ketahui.

Perjalanan kami ditutup dengan menikmati indahnya matahari terbenam di sekitar gapura Kraton Ratu Boko. Saat menyaksikan matahari tenggelam, saya merasa seolah-olah terlempar ke masa lalu, membayangkan bagaimana leluhur kita hidup sebelum adanya mesin-mesin. Mereka mampu menciptakan peradaban yang besar, yang artefaknya masih bisa kita saksikan hingga kini, tanpa merusak iklim global. Generasi kita yang sudah jauh lebih maju dalam pengetahuan dan teknologi seharusnya bisa berbuat jauh lebih baik.