Jurnal Hari

Do Things That Don't Scale

Contoh bagus untuk konsep "do things that don't scale" adalah kasus sukses startup Airbnb. Pada awalnya, pendiri Airbnb, Brian Chesky dan Joe Gebbia, menghadapi kesulitan dalam menarik pengguna dan mendapatkan pemesanan. Mereka kemudian memutuskan untuk mengunjungi tuan rumah yang terdaftar di platform mereka di New York City secara personal, untuk memahami masalah yang dihadapi tuan rumah dan memberikan saran tentang cara mengatur dan mempromosikan tempat mereka.

Selama kunjungan ini, mereka juga mengambil foto-foto berkualitas tinggi dari tempat-tempat yang disewakan, sehingga menggantikan foto-foto yang buruk yang sebelumnya diunggah oleh tuan rumah. Langkah ini membantu meningkatkan kualitas tampilan platform dan menarik lebih banyak pemesanan. Walaupun pendekatan ini jelas tidak dapat ditingkatkan skalanya, namun memberikan dampak positif yang signifikan pada pertumbuhan awal Airbnb.

--

Contoh lain dari konsep "do things that don't scale" adalah startup Zappos, yang bergerak dalam bidang penjualan sepatu secara online. Pendiri Zappos, Tony Hsieh, sangat fokus pada pelayanan pelanggan dan menciptakan pengalaman berbelanja yang luar biasa bagi penggunanya.

Di awal berdirinya Zappos, Tony dan timnya sering melakukan hal-hal yang tidak scalable untuk menjaga kepuasan pelanggan. Misalnya, mereka menghabiskan waktu berjam-jam di telepon untuk membantu pelanggan mencari sepatu yang sesuai dengan keinginan mereka, bahkan jika sepatu tersebut tidak tersedia di situs Zappos. Tim Zappos bahkan pernah membeli sepatu dari toko pesaing dan mengirimkannya kepada pelanggan, hanya untuk memastikan kepuasan dan kepercayaan pelanggan.

Pendekatan ini memang tidak scalable, tetapi berdampak besar dalam membangun reputasi Zappos sebagai perusahaan yang sangat peduli terhadap pelanggan. Fokus pada kepuasan pelanggan ini membuat Zappos tumbuh dengan pesat dan pada akhirnya diakuisisi oleh Amazon seharga $1,2 miliar.

--

Contoh lain yang menerapkan konsep "do things that don't scale" adalah Slack, perusahaan yang mengembangkan platform komunikasi berbasis tim. Pendiri Slack, Stewart Butterfield, menghabiskan banyak waktu di tahap awal untuk berinteraksi secara langsung dengan pengguna beta mereka.

Sebelum meluncurkan secara publik, Slack mengundang sejumlah perusahaan untuk mencoba produk mereka dalam tahap beta. Tim Slack kemudian memberikan dukungan yang sangat personal dan responsif kepada perusahaan-perusahaan tersebut, sering kali melibatkan pendiri dan tim teknis dalam diskusi langsung dengan pengguna. Pendekatan ini memungkinkan Slack untuk memperoleh umpan balik yang sangat berharga mengenai fitur, kinerja, dan kebutuhan pengguna.

Sumber: Evan Purnama (CTO Qiscus) - LinkedIn

#bisnis